Kehidupan itu memang misteri termasuk rejeki, jodoh dan kematian. Di dalam cerpen karya tukang dongeng "Ary Qimtong" ini menceritakan tentang sebuah kehidupan yang di dalam menjalani harus lebih bermanfaat dan memanfaatkan yang sudah ada sebelum menemui kematian. Keceriaan dan bersenang- senang sebelum tanah menguasai kita. Selamat membaca.
Gaudeamus igitur “Hymne Kehidupan"
Kampus kuberpijak punya pemandangan biasa saja dibandingkan Universitas lainnya disekitar Jakarta. Nuansa moden dari design arsitektur masa kini jauh menghiasi gedung dengan penampilan layaknya gedung sekolah dasar. Bangkunya juga tidak berubah, bangku kayu dengan wadah meletakkan buku. Terlihat bedanya dengan bangku SD hanya satu bangku untuk satu orang. Wajarlah, hanya Universitas ini yang sesuai dengan kemampuanku. Aku tidak mau memaksakan kehendak mengikuti kemauan diri masuk Universitas tersohor. Manalah tega kuserahkan lembaran pembayaran Universitas tersohor kepada ibu seorang pensiunan. Jumlahnya luar biasa saat itu di jaman sedang sulit bung, ujarku dalam hati. Masyarakat sedang merangkak memulai lembaran baru demokrasi setelah 30 tahun lamanya terbelenggu. Ekonomi juga belum tersusun rapih pasca kerusuhan dan masih banyak reruntuhan setelahnya. “Halo ini fotocopy partitur untuk kita latihan nanti“ ujar suara dibelakang membuyarkan perhatianku kepada Himpunan Mahasiswa yang ramai meneriakkan semangat reformasi. Wajah manis itu mengambil lembaran kertas dalam tangannya. Tanpa sengaja tanganku tersentuh diringi aliran listrik ditangannya. Tidak ada angin, jatuh juga kumpulan kertas dalam genggamannya hingga berantakkan akibat kecerobohanku. “Ehh maaf “ ujarku turut merapihkan serakkan kertas dilantai. “Pasti mau ikut demo bareng anak HIMA (Himpunan Mahasiswa) ya ? ”ujar perempuan berwajah manis itu. “Lagi ngga mood demo” jawabku sekenanya. Jujurnya sih aku ingin juga merasakan adrenaline saat berdemo.
Ada suatu perasaan beda ketika individualitas diri berbaur dengan banyak orang meneriakkan satu tujuan. Serasa kekuatan baru timbul hingga keyakinan merubah apapun bisa terjadi. Dari kemarin aku sudah bersama rekan sejawatku meneriakkan reformasi yang artinya sendiri aku masih meraba. Ahh ,aku lebih memilih suasana sekarang. Bertemu perempuan manis dihadapanku dan ini hanya terjadi jika aku ikut UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) paduan suara. ”Kita belum kenalan ya padahal kita seangkatan. Nama kamu siapa? Ujarku. ”Rina, aku dijurusan akuntansi” jelasnya singkat. “ Aku Yopie di jurusan Manajemen. Pantas kita belum pernah sekelas” tanpa ditanya aku mengenalkan diri. Takut dia beralih aku kembali banyak bertanya. ”Gaudeamus Igitur, lagu apa ini? Ujarku heran memandang fotocopy partitur darinya.” Lagu untuk wisuda yang nanti kita nyanyikan “ ujarnya lagi-lagi tanpa basa-basi. Mungkin suasana masih kaku baginya aku perlu banyak bercakap untuk dia tahu siapa aku. Belum sempat jurus selanjutnya dikeluarkan datanglah Abi salah satu teman di jurusanku melumerkan suasana.” Ehh siapa nih Pie? Kamu bukan senior kan di kampus ini? Ujar Abi yang memang lebih cair terhadap perempuan sosoknya juga periang dan banyak bercanda. Tidak makan waktu lama untuknya akrab dengan Rina.
Selesai latihan kami sering jalan bareng berbagi ilmu yang kami dapat. Aku masuk di grup bass sedangkan Abi di grup Tenor dan Rina pada Alto sehingga kami lebih menghabiskan waktu untuk latihan digrup masing-masing. Jujur saja paduan suara tidak semudah yang aku sangka, aku pikir hal tidak beda ketika ngeband di SMA. Memang lebih sulitnya memadukan karakter vokal belasan orang dengan harmonis. “Si hidung besar benar-benar kelewatan buat aku malu. Awas kalau sempat aku sumpal hidungnya pakai tutup botol ” teriak Rina didepanku dan Abi. Siapa lagi kalau bukan pelatih vokal kami yang dimaksud Rina dengan si Hidung besar. Mr.valent pelatih kami terkadang suka buat kesal. Maklumlah dia sangat serius terhadap musik karena hidupnya didedikasikan untuk itu. Seringkali si Hidung besar ehh Mr.valent mengeluarkan kata-kata yang mematahkan semangat kita untuk berlatih.” Bagi saya unit paduan suara yang saya pimpin adalah satu kesatuan. jika ada satu komponen yang rusak ataupun merusak akan saya ganti. Tidak peduli betapa bagus suaranya” itulah ucapan Mr. Valent dalam setiap sesi latihan. Rina memiliki suara sangat bagus diantara yang lain. Maklumlah jam terbangnya bernyanyi di cafe dan panggung musik sudah banyak diketahui teman sekampus. Namun, improvisasi Rina tidak pada tempat jika dalam paduan suara. Karena paduan suara menyanyikan komposisi dari partitur nada yang dipikirkan penciptanya secara matang. Bodohnya, aku kurang peka dan cepat tanggap terhadap perasaan orang lain.
Pemikiranku secara jujur kukatakan kepada Rina, otomatis dia semakin menatap sinis kepadaku. Di saat seperti ini Cuma Abi yang bisa melumerkan perasaan membatu di hatinya. Jarak aku dan Rina menjadi jauh dari harapan hati. Rina lebih sering memilih Abi untuk menemaninya kemana saja. Sudah bisa tertebak jika Abi akhirnya lebih berpeluang mendapatkan hati Rina.
Penampilan perdana paduan suara kami pada saat wisuda angkatan 99 berlangsung sukses. Banyak teman kampus mengucapkan rasa kagumnya. Terutama pada saat kami menyanyikan lagu Gaudeamus Igitur. “Gaudeamus igitur...,Juvenes dum sumus...,Post jucundam juventutem.., Post molestam senectutem..,Nos habebit humus...”. Begitu khidmatnya ada beberapa wisudawan menitikkan airmata. “Memangnya artinya apa sih kak? “ tanya Rina kepada salah satu senior di paduan suara.” Gaudeamus igitur artinya "Karenanya marilah kita bergembira" lagu berbahasa Latin yang merupakan lagu komersium akademik dan sering dinyanyikan di berbagai negara Barat, lagu ini dinyanyikan sebagai anthem dalam upacara kelulusan. ”Ucap kak Udin senior kami di paduan suara.”Ohh jadi lagu untuk bergembira ya?” tanyaku. Sebenarnya aku tidak mengerti apa yang harus digembirakan setelah lulus kuliah nanti di jaman yang sedang sulit seperti sekarang. Ataukah memang kita ditanamkan semangat hedonisme untuk menutup mata atas penderitaan rakyat yang berjuang atas keterpurukkan? Entahlah aku juga masih di semester satu dan tidak banyak pengetahuan kudapatkan. ”Bukan hanya kegembiraan saja din” ucap dekan kami yang juga pembina UKM paduan suara mengomentari ucapan kak Udin. “Liriknya sendiri mencerminkan untuk kita tetap semangat meskipun dengan pengetahuan bahwa pada suatu hari nanti kita semua harus sadar akan dekatnya kematian dengan kehidupan manusia di bumi ” tambah dekan sambil menatap kami semua. Setelah 6 bulan latihan baru sekarang aku tahu arti sebenarnya lagu Gaudeamus Igitur.
Setelah penampilan perdana di paduan suara aku menjadi semakin malas saja latihan ataupun sekedar kumpul di sekretariat UKM paduan suara. Semangat aku kendor setiap menyaksikan kemesraan Rina bersama Abi. “Yopie kamu kenapa jarang latihan sekarang? Sedikit lagi kita ada perlombaan antar Universitas dan pemenangnya bisa terpilih lomba di ajang internasional di Korea. Kalau sikap kamu seperti sekarang akan merugikan semua ”tanya Rina. “Aku ingin jujur bahwa aku suka sama kamu...”perkataan itu yang terlintas dihati tapi tidak juga keluar dari mulutku. Mulutku berkhianat dengan hati hingga hanya kata tanpa makna yang terucap. ”Ya sudah aku lebih baik keluar dari UKM jika merepotkan ”ucapku. “Jika kamu mau menyusahkan kita lagi ya sudah keluar saja. Kamu tidak tahu sulitnya kita menjadi satu kesatuan???” ucapnya menyadarkan untuk aku tidak bersikap egois. Ya sudahlah akhirnya aku memfokuskan diri hanya pada kuliah, pekerjaan dan setengah hati di paduan suara. Setengahnya sudah terampas keputusan Rina untuk memilih orang lain selain aku.
Setelah lulus kuliah otomatis aku menyibukkan diri pada pekerjaan. Meskipun sering juga Rina mengajak untuk sesekali membimbing yunior UKM paduan suara tapi aku mengacuhkannya. Hubungannya bersama Abi semakin dekat dan kabarnya mereka akan menikah sebentar lagi. Aku sudah menutup kesempatan untuk bersamanya dan memulai memandang masa depan yang lain. Percuma jadinya jika aku meluangkan waktu di UKM. Sempat terucap untuk tidak kembali lagi. Tapi pada hari Rina menghubungi aku dan mendesak menemuinya ucapan itu runtuh. Kampusku sudah banyak berubah ,gedungnya bertambah dengan arsitektur modern. Kuintip dalam ruangan kelas ber-AC, mahasiswa dan mahasiswi tampak nyaman tidak keringatan seperti dulu aku. Hmm di tangga lantai tiga tempat biasa anggota UKM Paduan Suara berkumpul juga banyak berubah. Tidak ramai seperti dulu, sekarang pasti mereka berkumpul di kafetaria kampus yang nyaman. Tidak berubahnya hanya sosok perempuan manis masih duduk ditempat biasa “ Kenapa Rin kok sendiri kemana Abi?” tanyaku kepada wajah sendu. ”Aku sudah lama ngga sama dia Pie. ”jawab perempuan yang sempat melintas dihatiku sambil mengusap wajahnya sedemikian letih. Kuangkat bahunya hingga mampu menatap wajahnya “kenapa memangnya kabarnya kamu mau menikah dengannya?” tanyaku heran. Setelah aku mengikhlaskan Rina bersama Abi cuma kesenangan yang aku dengar dari mereka berdua. Aku tidak mendengar sesuatu yang buruk dari mulut Abi ataupun Rina hingga sekarang. ”Setahun belakangan sebelum putus dia berubah seperti bukan dirinya. Aku dicampakkannya begitu kejinya Pie hingga aku benci dengan dia. Ternyata alasan dia berlaku kejam sama aku setahun belakangan dia menyembunyikan sakitnya Pie” aliran air mata dari pelupuk mata Rina menandakan penyesalan mendalam yang aku sendiri belum sanggup mengukurnya. ”Memang dari keluarganya tidak ada yang kasih tahu ? ”Aku memang batu soal perasaan, disaat seperti ini harusnya aku empati atau menenangkan pikiran perempuan ini. Malah aku bertanya hal yang tidak sesuai dengan kondisi. ”Ini pesan terakhir dari BBM Abi” Ucap Rina sambil menyerahkan handphonenya ketanganku. Tulisan dalam BBM bukan seperti pikiran Abi yang biasanya ceria dan suka becanda.
ABI ♕ : Maaf teman-teman jika aku punya salah :) terima kasih atas perhatiannya kepadaku selamat berpisah
ABI ♕: Ini pesan dari Abi kepada semua temannya. Terima kasih ya Rin atas perhatiannya kepada anakku (Mama Abi)
ABI ♕: Ini pesan dari Abi kepada semua temannya. Terima kasih ya Rin atas perhatiannya kepada anakku (Mama Abi) Bukan kalimat tersebut yang membuat perasaanku tergugah namun sosok Abi dalam foto yang di attach bukan seperti dirinya yang kukenal. Pria dalam foto tampak begitu kesukaran dengan kondisinya bukan seperti Abi yang selalu bersemangat. ”Dia sakit kanker ya Rin, kamu mau menemuinya sekarang? ” Tanyaku tersekat tenggorokkan yang mendadak kering. Rina hanya mengangguk lemah dengan langkah lemas untuk aku segera menopang tubuhnya menuju kendaraan. Belum sempat kami masuk dalam melihatnya keluarga Abi telah memohon untuk kami tidak melihat dirinya. ”Tante tahu kalian sangat perhatian pada Abi tapi setiap ada temannya menjenguk kondisinya semakin drop. Apalagi sama kamu Rin. Sejak anak tante tahu penyakitnya dia sangat berusaha untuk kamu tidak tahu. Tante juga minta maaf jika pada saat kamu mau balik sama Abi Tante malah menjauhi kamu. Meskipun kamu sudah kuanggap seperti anak sendiri tapi dia tidak ingin kamu merasakan penderitaan yang dialaminya ” ucap mama Abi sambil menghapus air mata Rina.
Akhirnya kami beranjak pulang untuk menghormati keinginan keluarga Abi. Tiga hari kemudian Abi meninggalkan pesan terakhirnya.
ABI ♕ : Bernyanyi bersama kalian kenangan paling indah, aku kangen mendengarkan lagu Gaudeamus igitur lagi. Meskipun tidak lazim yang kami lakukan tapi sebuah permintaan yang teman-teman UKM paduan suara sanggup berikan di saat akhir pemakamannya. Pada saat kami menyanyikannya serasa Abi turut bersama dengan suara tenornya menjadi satu kesatuan.“Gaudeamus igitur, Juvenes dum sumus, Post jucundam juventutem, Post molestam senectutem, Nos habebit humus” Artinya: Mari kita bersenang-senang, Selagi masih muda., Setelah masa muda yang penuh keceriaan, Setelah masa tua yang penuh kesukaran, Tanah akan menguasai kita.
Ony Jita
Komentar
Posting Komentar